BENCANA datang silih berganti, penyair menulis puisi.
Memang, sejuta sajak tak ada artinya dibandingkan selembar selimut kering untuk korban bencana. Sejuta puisi yang banjir air mata tak ada artinya dibandingkan sekepal nasi bungkus, sepotong batu bata, sehelai atap seng, setetes obat merah, atau seoles minyak angin.
Tetapi, penyair juga manusia. Sebagai manusia, penyair bisa berbuat apa saja.
cassle
Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang korban bencana daripada sebuah perhatian dan kasih sayang, yang salah satunya sangat tercermin pada sebuah puisi, tangis, dan doa.
denny a
om pinang…menyentuh sekali renungan ini…
syair, sajak, puisi…siapa saja bisa membuat itu…anggap saja itu jeritan terdalam dari relung hati tiap manusia…saat bencana mampir tiba-tiba…
kalau bantuan, ya..itu kembali pada tingkat irritabilitas sosial kita…tetapi memang siapapun bisa melakukannya…
salah satu tujuan membuat sajak saat bencana tiba adalah menggugah hati orang-orang yang irritabilitas sosial-nya rendah…
Salam.
ooknugroho
Saya pun sering didatangi rasa bersalah seperti itu. Seolah-olah menulis puisi (atau ngeblog) adalah sebuah perilaku amoral, sebuah tindakan ‘onani’ di tengah lautan musibah.
Mungkinkah solusinya dibikin praktis begini : kita tetap nulis, dan kalau itu dirasa kurang, yah ikut nyumbang juga nasi bungkus, mi, atau batu bata, pasir…
Ken Reidy
Bencana datang…buatkan beberapa orang pergi, bersedih dan meratapi
Sesekali membuat tanya tentang ujian diri, berserah diri, dan kuatkan hati
Puisi…mungkin hanya barisan kata-kata tanpa arti… saat hanya bantuan materi yang terimaji
Seorang penyair bebas berempati ungkapkan rasa sedih atas jiwa-jiwa yang diuji
Dedy - Si Tukang Sepatu
Paklik,
Sebagaimana fitrah kefakiran dia datang kepada siapa saja. Dan dalam keterbatasannya, seseorang mungkin hanya bisa menitikkan air mata ketika bencana datang menimpa nasib saudaranya.
Makna menyumbang tidak hanya berbentuk materi tetapi ada juga bentuk immateri, seumpama doa dan tangis tadi.
Salam,