terus kukayuh sampan sepanjang kelok dan lempang arus. riam-riam itu, dan batu-batu, berebut waktu dengan detik jam di jantungku. bintang-bintang bergumam tentang masa lalu dan asal mula kenangan, kerlap-kerlip seperti matamu yang payah meredam dendam. sungai kita adalah sungai gunung yang berjuang melawan usia. bebatuan remaja yang masih berkilap angkuhnya, hitamnya selalu menawarkan luka pada ladang dada kita. seperti jantung kita yang bangga, deramnya selalu menderaskan debar, memacu kayuh, mengarung peluh.
masih, kucoba menaklukkan musim dengan baju tebal, dan sesekali berdebat dengan cuaca: kalender terlalu sering berdusta. mungkin kita perlu menghela nafas dalam bungkam. agar jarum hujan tak terlalu rajam melubangi jaket kita. agar hangat telapak tangan kita tetap terjaga, di mana kita titipkan doa-doa sepanjang arus yang belum jinak juga.
Dwi Utomo
akan ku pendam
dalam bejana
dan ku tutup rapat
tanpa udara
di kedalam lumpur
sawah yang hitam
dan kemudian
aku akan tertidur
esuk bangun tanpa asap mimpi
dan berikut tak perduli lagi
vio
tak lagi bersahabat
MadDoko
nuansa